BERSUA DENGAN PUTRI BERMAHKOTA.

Cerita misteri masa lalu sambil mengisi waktu penerbangan yang ditunda.

KUALANAMU, akwnulis.com. Delay demi delay datang bertubi-tubi sehingga cara terbaik yang harus disiapkan adalah berusaha mengendalikan kesabaran dan memanfaatkan waktu untuk membuat sesuatu yang bermakna. Kekesalan memang sulit dihindarkan tetapi apa mau dikata, pilihan maskapai penerbangan yang katanya sering menerima komplain akhirnya kejadian. Jadi ya sudah terima saja, gitu aja kok repot.

Cara terbaik versi diri ini untuk mengisi waktu penantian yang agak tidak pasti ini adalah menulislah. Maka segera berusaha berkonsentrasi dan mencari tema tulisan yang bisa dituangkan dalam jalinan kata. Inilah ceritanya..

BERSUA DENGAN TUAN PUTRI BERMAHKOTA.

Malam terasa begitu panas suasana di dalam rumahku. Kami berempat duduk bersama dalam acara makan malam memgelilingi meja makan dengan sedikit peluh di wajah masing – masing. Memang musim kering sedang melanda desa kami, tetapi suhu panas malam ini sungguh berbeda, menyiksa.

Setelah makan bersama usai, ayah akhirnya berinisiatif membuka jendela ruang tengah agar ada udara luar yang mungkin bisa membantu mengurangi kegerahan ini. Padahal di tengah rumah, kipas angin berputar – putar dalam mode maksimal demi hasilkan angin kenyamanan.

Aku yang masih bersekolah di kelas 4 sekolah dasar beringsut mengikuti langkah ayahanda yang bergerak membuka pintu depan selain tentunya jendela ruang tengah yang telah terbuka selebar – lebarnya.

Ayo kita diluar saja, lihat bulan purnama nyaris sempurna” Seruan sang ayah langsung disambut dengan kehadiranku yang memang senang sekali bermain di halaman rumah. Biasa bermain sore hari hingga menjelang magrib tiba, lalu pergi ke mesjid besar dekat kantor desa untuk mengaji hingga jadwal shalat isya.

Namun kali ini pengajian ditiadakan karena pak ustad pengajarnya sedang mengunjungi keluarganya yang sakit di luar wilayah kecamatan. Jadi jadwal mengaji di rumah masing – masing.

Bermain – main di halaman rumah dibawah sinar bulan terasa menyenangkan. Apalagi adik kecilku yang masih 4 tahun, ikut bergabung bersama ibunda. Belajar berjalan kesana kemari sambil tertawa – tawa.

Ayah mengambil bola plastik kesukaanku, dan kami bergiliran menjadi penendang bola lalu jadi penjaga gawangnya, seru deh pokoknya.

Hingga pada suatu ketika, ayah menendang bolanya cukup kencang dan bola bergulir melewati semak yang berbatasan dengan jalan setapak di depan rumah. Aku berlari mengejarnya hingga memasuki semak rumput yang cukup tinggi. Terlihat bola plastikku disitu.

Pada saat tangan mungilku menjulur akan.memgambil bola, ada sesuatu yang memandangku dengan tatapan tajam. Dua mata kecil berwarna merah, lalu terlihat seperti berdiri dengan leher mengembang dan sisannya adalah sebuah gulungan indah berwarna perak memantulkan sinar rembulan yang semakin terang. Instingku meminta agar tangan dan badan ini tidak bergerak karena yang berada dihadapanku itu adalah ular sendok yang sedang bersiaga, mungkin terganggu oleh kehadiran bola plastikku.

Aku berhadap – hadapan dengan ular itu, terlihat sepasang matanya memandang waspada. Sama – sama berdiam diri. Aku menahan nafas sekuat mungkin, jikalau harus dilepas maka dilakukan perlahan. Jangan sampai membuat gerakan mengejutkan karena itu akan berakibat fatal. Mulut terkunci tanpa suara sedikitpun.

Ayah yang menyusul karena melihat anaknya terdiam di dekat semak – semak, juga berdiri mematung. Karena ular sendok besar itu bukan binatang sembarangan. Oh ya kawan ular sendok itu adalah sebutan untuk ular kobra lokal yang memiliki ciri bisa menggembukan lehernya sehingga bisa seperti sendok, itulah asal muasal disebut ular sendok. Urusan berbisa, inilah ular yang berbahaya karena bisa yang ada di mulutnya cukup mematikan. Apalagi bagi anak kecil sepertiku.

Aku yang terpaku berusaha menatap kedua mata kecil ular sendok itu. Terlihat kilau warna perak yang membuat ular itu begitu gagah, kokoh dan memiliki aura ketegasan. Tapi yang agak mengernyitkan dahi adalah diatas kepalanya tidak mulus seperti ular – ular biasa, seperti ada bentuk mahkota keemasan yang berkilau ditempa cahaya rembulan.

Tiba – tiba dari sudut matamu terlihat ayahanda yang tadi berdiri perlahan duduk di tanah, tapi matanya tetap waspada menatap ular sendok bermahkota ini. Ular sendok kepala sedikit bergeser dan langsung berhadapan dengan ayahku. Waduh suasana makin tegang, jangan sampai ayanda berkorban mengalihkan perhatian sang ular agar anaknya terhindar dari bahaya tapi berpindah kepada beliau.

Belum selesai pikiran buruk ini berakhir, terlihat ayahanda membungkuk di depan ular bermahkota itu sambil berkata, “Maafkan kami yang telah mengganggu istirahat tuan putri. Ijinkan kami mengambil bola itu dan pergi dari sini”

Ular sendok bermahkota itu terlihat perlahan mengangguk dan bergerak ke samping bola plastik tadi lalu seperti masuk ke dalam lubang yang berada di samping bola plastik itu. Gerakan tubuh gemulainya terlihat begitu indah dan cepat, hingga akhirnya menghilang dari pandangan dan berganti menjadi keheningan.

Ayahanda segera mengambil bola dan mengajakku segera kembali ke rumah, terdengar dari mulut ayahanda gumaman perlahan, “Terima kasih tuan putri.”

Kamipun akhirnya menyudahi bermain di halaman rumah ini dan kembali masuk ke rumah bersama adikku dan ibunda. Ayahanda tidak banyak bicara tetapi terlihat begitu teliti disaat menutup pintu dan jendela sambil sesekali wajahnya melihat ke luar rumah seperti ada sesuatu yang dilihatnya.

Aku beranjak cuci tangan cuci kaki lalu berwudhu untuk dilanjutkan shalat isya dan beranjak tidur di kamarku. Tepatnya di bagian depan rumah mungil kami.

Sementara di kepalaku beraneka reka kata dan kalimat serta memperkirakan sebuah kejadian aneh yang menegangkan ini. Tapi rasa lelah lebih kuat untuk membuat raga ini istirahat dalam buaian mimpi yang tepat.

***

Keesokan harinya adalah hari minggu, hari yang dinanti karena berarti tidak sekolah dan bisa bermain seharian. Indahnya masa anak – anak yang tidak ada beban, hanya tugas sekolah dan turuti kemauan orangtua lalu sisanya adalah bermain dengan teman. Berlarian, main layangan, petak umpet, sorodot gaplok, gatrik, ngurek, berenang di bendungan hingga menyalakan meriam bambu dengan suara yang mencengangkan.

Tapi teringat kejadian tadi malam, tanpa minta ijin kepada ayahanda. Berjalan menuju tempat tadi malam posisi bola plastikku berada dan penasaran ingin melihat lubang tempat masuknya ular sendok bermahkota. Khawatir suatu saat ular itu keluar lagi tanpa aba – aba.

Tapi ternyata di lokasi bola plastik tadi malam, tidak ada lubang sama sekali. Hanya tanah dan rerumputan semak saja. Tidak ada lubang sarang ular, seolah tadi malam ular sendok itu menghilang ditelan bumi begitu saja. Dengan ranting coba ditusuk – tusuk ke tanah, tidak ada tanda – tanda lubang itu berada. Tiba – tiba ada suara yang mengagetkanku dari belakang.

Sudahlah nak, tidak usah dicari. Itu bukan ular biasa” Ayahanda ternyata sudah ada di belakangku. Aku mengangguk dan menggamit tangan ayahku. Lalu berjalan pergi meninggalkan tempat itu.

***

Itulah sekelumit kisah yang bisa diceritakan kali ini. Disaat tulisan ini selesai bertepatan juga dengan panggilan dari speaker untuk segera memasuki pesawat yang akan membawaku terbang kembali ke Jakarta. Alhamdulillahirobbil alamin. Wassalam (AKW).

JEMPOLKU & SABAR

Cerita dari sang Jempol yang sedang ngalalakon.

BANCOR, akwnulis.com. Sederet kalimat tanya memecahkan keheningan yang melingkupi suasana malam yang temaram.

Mengapa beberapa hari ini begitu malas menggerakkan jemari diatas tuts keyboard virtual di smartphone ini untuk -menulis- seperti biasa?”

Sebuah tanya menggema dalam dada, padahal jikalau dilihat banyak momentum yang menarik untuk ditulis, dicatat dan akhirnya menjadi sebuah produk tulisan.

Mengapa?”

Maka perlahan tapi pasti mulailah introspeksi dari hulu ke hilir… eh dari hulu ke suku*) yang ternyata banyak sekali alasan yang hadir dengan berbagai kelengkapannya. Seperti rasa cape karena ternyata raga belum stabil dalam masa pemulihan ini, sehingga berbaring sejenak tanpa ngapa-ngapain lebih penting dibanding menulis, daripada berakibat pada hadirnya rasa sakit di kaki kiri pasca operasi sebulan lalu.

Atau bisa saja dengan hadirnya kerjaan yang bejibun sehingga tak sempat waktu untuk sekedar menulis meskipun hanya satu mini paragraf… udah mah satu paragraf dan mini lagi… berarti hanya terdiri dari beberapa kata saja.

Namun jangan salah kawan, beberapa kata ternyata bisa menjadi wakil dari hadirnya sebuah rasa, misalnya ‘I miss u’, hanya 3 kata dan singkat, tapi ternyata bermakna begitu mendalam sangat….. atau ‘Terserah saja’, ini 2 kata sakti yang memiliki beraneka makna tergantung siapa yang berucap, dimana berkatanya dan bersama siapa dia berkata itu.

Nah… supaya lebih praktis mini paragraf ini diperas kembali, menjadi hilang vokal dan konsonan berganti gambar kecil emoticon yang mewakili kegundahan jiwa. Ini lebih praktis lagi, meskipun hati-hati bisa salah klik jadi menampilkan emoticon yang aneh-aneh atau tidak pas dengan apa yang akan disampaikan.

Disinilah peran sang jempol begitu besar dan di posisi strategis, meskipun dibayang-bayangi oleh ‘typo’ akibat jempolnya gemoy atau tinggi ke samping hehehehehe.

Maka latihlah jempol kita tidak hanya bisa menari di keyboard virtual saja tetapi juga rutin berolahraga ringan seperti ngupil, korek kuping ataupun bermain hahayaman atau paciwit-ciwit lutung dan jikalau level advance ya gunakan untuk panco. Untuk aktifitas yang lebih menghasilkan maka bisa ditingkatkan dengan ngurek belut di pinggir sawah atau kolam juga menangkap ikan dengan tangan kosong, maka jari jemari akan terasah lincah.

Ada lagi kalau nggak mau basah – basahan mah, belajar nangkap cicak, ular atau nyamuk dan lalat dengan tangan kosong…. wah ini mah butuh konsentrasi, kelihaian dan kecepatan serta akurasi tertinggi plus ke-tidakgeuleuh-an memegang cicak yang geunyal tapi unyu-unyu serta teman – teman lainnya.

Nangkap cicak pake jempol?”

Iya atuh, jempol dan 4 jari lainnya. Sebuah pertanyaan yang aneh pisan, padahal tinggal gunakan logika dilengkapi imajinasi maka akan hadirlah sensasi. Karena nggak mungkin jempol bekerja sendiri tanpa sinergi dengan keempat jari lainnya, “betul khaaan?…..”

Sementara jika bergeser ke arah bawah dan bersua dengan jempol kaki, maka kembali tersadar bahwa pasca operasi patah ruas tulang telapak kaki perlu penuh sabar dan fokus dalam menjalani penyembuhan.

Khusus jempol kaki juga menjadi strategis karena ternyata perlu treatment khusus dan penuh kehati-hatian untuk menyentuhnya, apalagi memotong kuku jempol kaki… ngurunyud penuh sensasi.

Sesi terapi dengan pemanasan oleh lampu infra red dan sesi getar – getar dijalani semakin menguatkan telapak kaki dan jempol serta semua jari jemari….. terrrrrr… terrrrr.

Maka cara terbaik adalah bersabarlah dan ikuti sesi terapi dengan sepenuh hati dan jangan lupa prokes ketat dikala memasuki rumah sakit karena omicron terus menggila.

Selamat malam dan selamat memegang jempol masing-masing. Wassalam (AKW).

***

Catatan : Ternyata cara terbaik agar kembali menulis adalah…. menulislah apapun itu.

*) kepala ke kaki.