RUMAH DINASKU

Catatan kecil menikmati rumah dinas yang penuh sensasi.

CIBABAT, akwnulis.com. Sebuah momentum pelantikan jabatan menjadi gerbang perubahan kehidupan yang begitu signifikan. Tentu baru pelantikan level terendah, menjadi seorang kepala seksi di sebuah kecamatan. Tetapi bagi diri ini begitu membanggakan, karena setelah beberapa tahun mengabdi sebagai pegawai level pelaksana akhirnya mendapatkan kepercayaan untuk memegang sebuah amanah jabatan. Tentu sebuah kewajiban untuk bersyukur dan memberikan pengabdian dan kinerja yang lebih baik dibandingkan yang sudah dilakukan selama ini.

Maka setelah pelantikan usai, segera kembali ke kantor awal. Menemui pimpinan terdekat untuk mengucapkan terima kasih atas dukungan dan arahannya selama ini sekaligus meminta wejangan untuk menghadapi tugas baru ini serta diakhiri beres – beres berkas dan barang pribadi hingga akhirnya berpamitan.

Bapak mohon maaf selama menjadi staf bapak jika ada yang kurang berkenan. Juga rekan – rekan, maafkan aku yach”

Kalimat pamit yang menggetarkan, ada rasa sesak di dada meninggalkan bapak Unus, bapak Ahut, kang Slamet yang selama ini menjadi partner setia, begadang bersama, kerja lembur bersama hingga dini hari tiba demi membuat bahan presentasi pimpinan yang dikejar deadline terutama bersama badan anggaran. Selamat tinggal kantor Bappeda Sumedang.

Selamat jalan yi”
“Selamat bertugas di tempat baru”
“Jangan lupa besok lusa ditunggu, ini tetap kantormu!”

Berbagai kalimat penyemangat dan penuh rasa kekeluargaan, cukup berat untuk meninggalkan. Tetapi tugas baru sudah menanti seiring amanah jabatan yang sudah tersemat di pelantikan tadi pagi.

***

Esok paginya dengan langkah perlahan tapi pasti turun dari motor dan bergegas memasuki kantor kecamatan Sumedang Selatan. Beberapa pasang mata memandang, dijawab dengan senyuman saja dan bergegas masuk ke pintu depan. Kebetulan ada meja resepsionis di situ.

Selamat pagi bu, Bapak Camatnya ada? Saya mau lapor penugasan disini”

Selamat pagi bapak, silahkan isi buku tamu ya. Bapak Camat ada, tetapi kami cek dulu agenda beliau”

Tanpa berlama-lama, langsung diantar ke ruang Camat. Kebetulan belum ada agenda acara sehingga bisa langsung menemuinya.

Selamat pagi bapak, ijin melaporkan penugasan kami disini, mohon arahan”

Wah kamu begitu formal, santai saja. Selamat datang di kantor kecamatan dan selamat bergabung menjadi pelayan dan pengabdi masyarakat yang sebenarnya” Ujar pak Camat dengan wajah sumringah.

Suasana kaku segera mencair dan pembicaraan mengalir. Lalu pak Camat memanggil para pejabat kecamatan dari mulai sekretaris kecamatan, para mepala seksi, kasubag hingga staf yang ada. Suasananya begitu akrab, sehingga lebih menenangkan bagi diri ini yang baru saja harus beradaptasi.

Hingga menjelang sore berkeliling dan berbincang dengan sahabat baru. Melihat ruangan – ruangsn kantor termasuk berkeliling sekitar kantor kecamatan dan area rumah dinas.

Ternyata sesuai pembicaraan bersama pak Camat tadi, sesuai tugas sebagai Kepala Seksi Ketentraman dan Ketertiban atau disingkat Kasi Tramtib maka berkewajiban dan bertanggungjawab 24 jam terhadap kondisi ketentraman dan ketertiban kawasan kecamatan termasuk area kantor. Otomatis harus tinggal di sekitar kantor kecamatan.

Agak termenung juga, karena jika masih tinggal di rumah sekarang tentu jaraknya jauh yakni di kawasan Jatinangor yang berbatasan dengan area kabupaten bandung. Sementara perlu sekitar 1 jam untuk sampai ke kantor kecamatan. Mau kost atau ngontrak juga pertimbangan ekonomis, ya udah termenung dulu saja.

***

Pak Kasi belum pulang?” Suara pak camat membuyarkan lamunan. Sedikit terdiam tapi segera menjawab, “Belum pak, rencana mau survey kontrakan sekitar sini pak”

Oh iya, bagus itu. Tapi bisa juga sebagai alternatif rumah dinas saya digunakan. Pilih saja kamar yang cocok.”

Serius pak?” Mataku berbinar.

Iya serius, lagian rumah dinasnya kosong. Silahkan digunakan”

Terima kasih pak”

Pembicaraan singkat yang berharga. Tanpa membuang waktu segera beranjak dan mengajak 4 orang anggota satpol PP untuk menemani menuju rumah dinas camat yang posisinya tepat di samping kanan kantor kecamatan.

***

Bapak serius mau tinggal di rumah dinas pak camat?” Pak Dadan anggota satpol PP bertanya.

Iya dong, memang kenapa?” Saya bertanya balik. Pak Dadan dan pak Tatang saling berpandangan. Saya terdiam, sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan. Tapi langkah kaki tetap bersama-sama bergerak menuju rumah dinas.

Ternyata jawabannya sederhana, rumah dinas camat ini sudah 9 tahun kosong dan kondisinya menyedihkan. Luasnya lumayan dari mulai ruang tamu, ruang tengah, kamar depan, kamat tengah, kamat mandi, dapur dan gudang. Tetapi kondisinya bocor dan dapurnya praktis tidak bisa digunakan. Lantainya lembab dan beberapa tempat berlumut, sepertinya dibangun di bekas rawa atau sawah. Ada juga ditemukan katak yang bersarang disana. Laba-laba dan jaringnya cukup banyak ditemukan. Termasuk yang cukup mengagetkan adalah ular sawah yang bersembunyi di tumpukan kayu di gudang.

Keputusan harus segera diambil karena tugas ini tidak bisa menunggu. Daripada mencari kost atau kontrakan dengan harga sekitar Rp 300.000 – Rp 350.000 per bulan di semitar sini atau sepertiga gaji yang diterima setiap bulan lebih baik membenahi rumah dinas saja sehingga dana tersebut dapat digunakan membayar cicilan rumah di jatinangor.

Ayo bantu saya beres – beres, mulai besok saya tinggal disini”

Anggota satpol PP yang menemani langsung serempak teriak, “Siap Komandan” dan mulai bekerja. Meskipun terdengar beberapa saling berbisik entah berkomentar apa.

Ruang tengah yang agak kering ditutup plastik dan diberi tikar dan sajadah sebagai mushola bersama, sementara yang lembab berair dibiarkan saja. Kamar depan dibersihkan dan diisi 2 meja panjang sisa pemilu. Baru dipasang kasur busa. Jendela diperbaiki begitupun pintu masuk. Tidak lupa tambah meja untuk penempatan komputer dan lemari. Semua jadinya kerja bakti dibantu pegawai kecamatan lainnya.

***

Esok harinya berjumpa dengan beberapa pegawai wanita dan pertanyaannya senada, “Bapak serius mau tinggal di rumah dinas camat?”

Serius, memangnya kenapa?”
“Euh nggak apa – apa, tapi harus banyak berdoa pak”

Saran yang bagus, tetapi menjadi pertanyaan besar, “Apakah rumah dinas itu berhantu?”

Mereka terdiam dan berlalu. Tapi memang disaat ditawarkan kepada beberapa pegawai yang piket  harian di kantor untuk menemani tidur di rumah dinas, serempak semuanya menolak. Lebih baik tidur di kantor saja, daripada menemaniku. Ya sudah, Bismillah saja.

Malam pertama tidur di rumah dinas cukup lelap meskioun tengah malam sedikit terbangun karena ada kegaduhan di ruang tengah. Tapi sepi kembali dan raga ini kembali terlelap hingga pagi. Hanya saja di pagi hari sebelum turun dari ranjang darurat harus melihat sekeliling. Seekor ular sawah ukuran sedang ternyata ikut berada dikamar, mungkin naik dari sawah belakang mencari katak dan juga kehangatan. Perlahan diusir keluar, baru bisa beraktifitas dengan tenang.

Hari kedua dan ketiga ular diganti dengan kalajengking dan beberapa katak kecil. Benar – benar rumah yang menyatu dengan alam. Harus waspada setiap saat khususnya bangun pagi.

Dimalam ke empat, kebetulan malam jumat. Saya berpatroli bersama tim gabungan dari kecamatan, polsek dan koramil berkeliling ke beberapa desa yang menyelenggarakan acara dangdutan organ tunggal hingga melewati tengah malam. Tepat jam 01.00 wib dini hari baru kembali ke kantor kecamatan. Setelah basa -basi sesaat, maka saya menuju rumah dinas dan anggota satpol PP seperti biasa bermalam di kantor saja.

Kunci rumah dinas dibuka tak lupa ucapkan salam, “Assalamualaikum”  lalu melewati ruang tamu dan ruang tengah. Tiba – tiba sudut mata menangkap sebuah bayangan hitam yang berada di sudut ruang tengah dalam cahaya lampu temaram lalu terdengar suara berat tertahan, “Baru pulang pak?”

Iya baru pulang” sebuah jawaban otomatis meloncat begitu saja dari mulut yang menganga karena melihat secara nyata sesuatu yang begitu besar, berbulu kasar abu – abu kecoklatan di sekujur tubuhnya dengan rambutnya yang acak-acakan  dan wajah tersembunyi oleh bulu – bulu kasar dengan sepasang mata merah yang cukup menggetarkan jiwa duduk dengan santainya diujung ruang tengah, seolah memang disitu singgasananya.

Dalam hati doa tolak bala dibaca tergesa, terasa kulit diseluruh tubuh berdiri bukan hanya di bulu kuduk saja tapi semuanya. Satu hal yang diyakini adalah manusia mahluk mulia, lebih mulia dari mahluk lainnya ciptaan Allah Subhananahu Wataala.

Segera mata berkedip tapi ternyata mahluk itu tetap ada disana. Ya sudah segera bergegas menuju kamar depan, membuka pintu dan mengunci dari dalam lalu naik di ranjang darurat lalu berselimut tanpa mengganti pakaian juga sepatu masih terpakai. Membaca segala doa yang dikuasai dan berserah diri pada Illahi. Sambil berkata dalam hati, “Kita berbagi, silahkan gunakan ruang tengah, tapi tidak di kamar ini”

Tiba-tiba sekilas sepasang  mata merah dengan wajah rata terasa hadir di hadapan dan memberikan anggukan, lalu bayangan itu menghilang. Kembali doa – doa dibacakan dan diteriakan meskipun dalam ruang kesunyian hingga akhirnya tertidur karena kelelahan.

***

Esok harinya terbangun dengan pakaian dinas dan sepatu masih melekat di badan, tetapi badan terasa segar dan penuh semangat menghadapi tugas dan kehidupan. Beranjak ke kamar mandi untuk berwudhu lalu shalat shubuh. Dilanjutkan senam pagi mandiri, mandi dan sarapan di warung depan lalu bergabung di kantor untuk apel jumat pagi.

Sejak itu tinggal dan bermalam di rumah dinas menjadi hal yang biasa. Jika shalat ada yang ikut menjadi makmum tapi pas salam atahiyat akhir ternyata tidak ada siapa-siapa, itu hal biasa. Jika pulang patroli malam ada yang menyapa di ruang tengah, ya sudah jawab saja lalu masuk ke kamar untuk beristirahat. Yang pasti tidak khawatir meninggalkan barang berharga di rumah dinas meskipun tidak terkunci karena ada teman dan penjaga abadi yang mungkin sudah berpuluh atau malah beratus tahun tingggal di rumah dinas ini. (AKW).

***

NGOPI DI TANJUNG DURIAT

Lanjutkan ngopi penuh sensasi.

SUMEDANG, akwnulis.com. Perjalanan menikmati sajian kopi di tempat – tempat eksotis ataupun yang memiliki nilai sejarah tentu harus diceritakan. Baik nilai sejarah sebagai peninggalan budaya ataupun nilai sejarah pribadi karena pernah tinggal beberapa waktu di wilayah kabupaten sumedang ini. Kalau dihitung masa pengabdian di kabupaten melewati 8 tahun beberapa bulan.

Untuk edisi ngopi tadi pagi yang bertempat di Alun – alun Sumedang dan di depan gedung negara bisa disimak pada tulisan ini, yaitu NGOPI, BANDROS & GEDUNG NEGARA.

Melanjutkan petualangan menikmati kopi dalam berbagai suasana maka perlu dicari tempat yang tepat dan memiliki keunggulan yang nyata khususnya dari sisi suasana dan pemandangan alamnya yang menyejukan jiwa serta memberi ketenangan dan keseimbangan untuk raga, tentu pilihannya adalah lokasi yang memiliki pemandangan alami.

Maka perjalanan dari alun – alun sumedang ditempuh dalam waktu 53 menit menyusuri jalan raya ganeas – situraja hingga masuk ke jalur lingkar jatigede. Yup kita menuju tempat wisata di daerah waduk jatigede… semangaaaat.

Titik lokasi kali ini adalah tempat wisata yang dikembangkan terus oleh pemkab sumedang. Jika dulu pernah sampai ke titik lokasi yang bernama Kampung Buricak burinong dan menikmati sajian bakakak ayam di pinggir waduk jatigede maka kali ini lokasinya bernama Tanjung Duriat.

Tanjung duriat adalah gabungan dari dua kata yang berbahasa indonesia dan bahasa sunda. Penulis berusaha memberi penjelasan arti secara pribadi ya. Tanjung dalam bahasa indonesia adalah bagian daratan yang menjorok ke lautan dalam hal ini tentu luasnya air yang menggenang di waduk jatigede ini ibarat lautannya. Eh tapi kok jadi inget daerah lain di kabupaten sumedang yang menggunakan nama tanjung lho. Ada daerah tanjungsari yang berdekatan dengan jatinangor dimana menjadi kawasan pendidikan tinggi seperti UNPAD, IPDN, ITB, Unwim, dan IKOPIN. Lalu ada juga daerah tanjungkerta dan tanjung siang, pertanyaannya apakah dahulu daerah ini adalah daratan yang menjorok ke laut, laut purba kali ya?..

Ada satu lagi yang harus dijelaskan tentang kata DURIAT, jika searching di google maka akan muncul nama almarhum Darso seniman sunda yang menyanyikan lagu berjudul duriat. Sementara dari sisi arti, maka duriat itu adalah sebuah istilah mendalam tentang rasa cinta yang cenderung sebuah takdir sehingga sulit untuk menghindarinya jika sudah terjadi. Ahaay… cinta cintaan.
Udah ah nggak usah nglantur, ini mau cerita ngopi kok jadi kesana kemari.

Tiba di area wisata Tanjung Duriat langsung keluar tempat parkir yang luas, menuju jalan besar yang resik dan terlihat beberapa struktur besi yang cukup instagramable sekaligus terdapat meja kursi sebagai pos tinjau yang menghadap langsung ke arah genangan air di waduk jatigede. Begitu luas dan memanjakan mata. Maka prosesi menikmati kopi harus segera terjadi, tangan beraksi dan botol coldbrew langsung disimpan di meja disertai gelas kaca mini kesayangan.. jeng jreng. Maka tuangkanlah, abadikan dengan kamera smartphone dan bersiap disebarkan ke dunia hehehehe.

Ternyata lokasi wisata tanjung duriat ini masih luas, Penulis penasaran, maka lanjut berjalan kaki menuju ujungnya. Maka ada nama TANJUNG DURIAT yang besar dan menjadi tempat pentung bagi pengunjung sebagai keabsahan bukti sudah sampai disini. Terdapat juga saung – saung untuk botram dan tempat – tempat untuk bersantai serta beberapa cafe sudah hadir disana sehingga pilihan makanannya beragam. Bisa mekdi (mekel di imah) ataupun jajan di cafe dan kios – kios yang tersedia.

Terdapat juga menara pandang yang luas dan bisa menampung banyak orang untuk berpose dengan latar belakang keindahan waduk jatigede yang menawan. Lalu pose kedua adalah ngopi di dalam saung dan berlatar keindahan waduk. Sebenernya penulis pesan juga kopi manual brew dari cafe yang ada. Sayangnya keburu disruput sambil nikmati suasana, jadi nggak sempet photo tuh kopi. Untung saja kopi coldbrew bawaan masih ada, itu saja yang di abadikannya. Cetrek dan sruput.

Itulah kisah ngopiku kali ini di tanah penugasan pertama bekerja di duapuluh tahun silam. setelah cukup lama tidak beredar di sumedang. Happy weekend kawan, selamat beraktifitas bersama keluarga tercinta. Eh tapi kecuali yang dapat tugas dinas di weekend ini, ya atur – atur saja. Wassalam (AKW).

NGOPI, BANDROS & GEDUNG NEGARA

Sruput kopi di Kota penge-TAHU-an.

SUMEDANG. akwnulis.com. Disaat perut mulai keroncongan maka disitulah mata segera beredar dan otomatis kepala bergerak celingukan atau menoleh ke kanan dan ke kiri secara perlahan untuk mencari sasaran yaitu pedagang makanan yang tepat untuk menghentikan nyanyian perut yang kian menggila.

Apalagi sudah ada rencana untuk menikmati sajian kopi manual brew yang sengaja  dibuat sendiri dan dibawa dari rumah karena khawatir di tempat tujuan akan kesulitan mencari kopi manual yang diseduh dengan filter V60. Kalau bekal khan aman ya friend, tinggal cari titik lokasi yang tepat, buka kopi yang dibawa dan bersiap diambil gambarnya oleh seseorang yang baik hati membantu. Tapi jika tidak ada maka berswaphoto saja, tinggal paskan saja gambarnya. Cetrek, selesai.

Disaat mata beredar mencari pedagang, pandangan tertuju pada monumen Lingga yang berada tepat di tengah alun-alun Kota Sumedang. Bergeser sedikit memandang ke arah kiri terlihat mesjid agung sumedang yang penuh nilai sejarah. Nah diantara monumen dan mesjid agung itulah terlihat berkumpul orang – orang dengan berbagai aktifitas. Diyakini disitu pasti ada pedagang makanan. Tinggal makanan atau jajanan apa yang akan dipilih.

Maka sekarang kedua kaki bergerak melangkah menuju satu posisi pedagang yang sedang sibuk mengolah dagangannya. Pilihannya langsung jatuh pada pedagang bandros.

Temen temen tahu tentang bandros khan?”

Tahuuu!!”
“Eh bandross”

Bandros adalah kue tradisional khas sunda yang terbuat dari campuran tepung beras, daun suji, santan dan kelapa parut sehingga rasa original yang dihasilkan adalah asin gurih. Ada juga varian dengan taburan gula pasir, tapi penulis lebih senang dengan bandros rasa original.

Tanpa banyak basa-basi segera meminta bandros tersebut, lalu pedagangnya memberikannya dengan bonus kantung kresek. Tak lupa 1 lembar 20 ribuan diserahkan kepada mamang pedagangnya. Mamang pedagang dan penulispun tersenyum, sebuah senyuman pagi yang penuh keakraban.

Maka sarapan pagi segera dilakoni dan bandros sekantong kresek ludes hanya bersisa kertas sebagai alasnya saja. Mungkinkah ini yang disebut kelaparan atau memang kemaruk hehehehe.

Barulah setelah selesai prosesi sarapan pagi dengan bandrosi dimulailah agenda ngopi dengan 2 tempat yang berbeda.

Pertama adalah didekat monumen Lingga yang berada tepat di tengah – tengah alun – alun sumedang ini. Monumen Lingga adalah bangunan cagar budaya yang dibangun pada masa hindia belanda untuk mengenang jasa dari bupati sumedang Pangeran Aria Suria Atmaja (1883 – 1919). Maka segera berpose dan sruput cold brew yang latar belakangnya bangunan bersejarah ini. Cetrek.

Kedua adalah berlokasi di dekat museum prabu geusan ulun, tepatnya di depan Gedung negara Sumedang yang merupakan rumah dinas bapak Bupati Sumedang yang saat ini dijabat oleh Bapak Donny Ahmad Munir. Sebuah tempat yang kebetulan juga penulis pernah menjadi penghuni salah satu bagian dari kawasan gedung negara ini di akhir tahun 2000.

Tulisan lengkapnya tentang memori di gedung negara bisa di klik di GEDUNG NEGARA & AKU.

Maka kali ini biar teman penulis saja yang menjadi modelnya, langsung sruput kopi tapi mohon maaf jika harus minum sambil berdiri. Mohon maklum buru – buru karena ternyata sang waktu tak bisa kompromi dengan janji. Sruput sruput cetrek langsung pergi. Selamat hari jumat pagi. Wassalam (AKW).

Gedung Negara Sumedang & Aku.

Ternyata sang waktu begitu cepat berlalu, tapi memori tetap abadi.

BANDUNG, akwnulis.com. Dikala mentari pagi hampir muncul di ufuk timur, maka raga ini sudah bergegas keluar kamar mandi dan bersiap dandan berbenah diri tak peduli hari ini tanggal merah atau tidak. Karena sebentar lagi tugas – tugas telah menanti.

Teeeeeeett teeeeeeet…”

Benar saja, tepat jam 06.30 suara bel panggilan menggema. Kaki melangkah cepat menuju sumber suara dan langsung berhadapan dengan atasan yang menanyakan dengan metode 5W1H.

Apa saja acara hari ini, Siapa saja pendamping dinas yang hadir, Berapa orang tamu yang akan datang, Dimana akan diterima dan Mengapa harus pagi dan siang menerimanya dan Bagaimana teknisnya?”

Berondongan pertanyaan yang langsung diberikan jawaban lengkap dan tegas. Terlihat air muka atasan tidak menegang, tandanya beliau menerima semua jawaban ini dan ditutup singkat dengan kalimat, “Oke dipersiapkan semua dengan baik”

Siap Bapak”

Barulah raga ini balik kanan dan langsung menuju ke dapur untuk bersua dengan menu sarapan serta secangkir teh hangat sebagai mood booster dalam hadapi rangkaian acara yang begitu padat di hari sabtu ini.

Rangkaian acara dimulai di jam 07.30 wib bertempat di alun – alun, dilanjutkan jam 10.00 menuju ke daerah Darmaraja dengan judul peresmian puskesmas hingga kembali ke gedung negara dan pukul 14.00 wib menerima tamu dari tokoh nasional didampingi para kepala dinas dan asisten dilanjutkan pukul 16.00 menerima audiensi seniman dan budayawan hingga dilanjutkan malam harinya berdiskusi tentang pengembangan konsepsi pembangunan di kampung toga bersama beberapa komunitas dan tokoh masyarakat, sambil bermalam minggu menikmati city light kota Sumedang.

Ternyata …

…..itu adalah memori 20 tahun yang lalu… oh my God, betapa berkah perjalanan waktu begitu ajaib. Serasa semua itu baru terjadi kemarin. Alhamdulillah Ya Allah diberikan berkah waktu yang menakjubkan. Semoga terus diberi kesempatan umur yang panjang penuh keberkahan.

Memori 20 tahun lalu dikala ditugaskan mengabdi menjadi ajudan bupati Sumedang yang penuh dinamika serta suka duka menjadi pondasi dan pijakan awal untuk meniti karier menjadi birokrat muda hingga saat ini. Menjadi ‘buntut gajah‘ alias ajudan Bupati yang tinggi besar, tegas serta penuh wibawa, Bapak Drs. H. Misbach yang memegang jabatan bupati sumedang periode 1998- 2003.

Maka berada di gedung negara Sumedang kali ini begitu sarat makna. Terima kasih bapak Bupati Sumedang saat ini, Bapak Dony Munir yang berkenan mengundang untuk hadir disini menikmati dan memaknai kenangan masa lalu. Juga terima kasih kepada bapak Kadisparbudpora dan Kabid pariwisata kab sumedang yang juga dulu pernah mengabdi menjadi ajudan bupati sumedang meskipun berbeda periodesasinya.

Raga bergerak menyusuri ruang tengah gedung negara, menatap kursi – kursi dan penataan cahaya yang menguatkan makna sebuah kenangan. Berjalan ke aula depan gedung negara, kembali disuguhi suasana tenang dan jendela-jendela kaca yang pernah menjadi saksi pontang pantingnya seorang birokrat muda untuk mendampingi pak Bupati yang selalu tegas plus perfeksionis.

Ahh… tak habis kata untuk terus berceritera. Namun biarlah kenangan lengkapnya menjadi memori indah yang tersimpan di kepala serta sebagian dititipkan di berbagai tempat di gedung negara.

Maka beberapa pose penting sedang berdiskusi di kursi bapak bupati dikala memimpin rapat di ruang tengah gedung negara, yang diperankan bersama kabid pariwisata sumedang menjadi replika kenangan yang tak ternilai serta penuh makna. Lalu berpose sendiri dengan berusaha hadirkan senyum terbaiknya. Alhamdulillairobbil alamin.

Tidak lupa juga mlipir ke belakang melewati pintu keluar dan menikmati sentuhan semilir angin di pinggir kolam besar yang dikenal dengan ’empang gedung negara’ serta ditengah terdapat bangunan mushola yang sering menjadi tempat favorit untuk kontemplasi diri, 20 tahun lalu. Wassalam (AKW).

OBAT GALAU DI TERAS KIARA

Lagi galau?… obati dengan Ngopay.

V60 arabica manglayang / dokpri.

KIARAPAYUNG, akwnulis.com. Sebuah rasa berbeda yang hadir tiba-tiba, menyusup dibawah raga dan menyentuh pinggiran hati tanpa banyak tanya. Disitulah hadir rasa khawatir ditambah sejumput kebingungan.

Tapi kenapa?”

Sebaik kata tanya yang berbahaya, karena untuk memperbaiki dan menyembuhkan sesuatu memiliki syarat utama. Syaratnya adalah kejujuran.

Coba renungkan, dikala kita butuh solusi masalah kesehatan, maka diskusi dengan dokter adalah kejujuran dan keterbukaan. Setelah itu dilakukan pemeriksaan phisik, barulah bisa dihadirkan resep dan akhirnya treatment obat atau tindakan yang diperlukan.

Begitupun jikalau jiwa kita yang ‘sakit’, maka perlu sesi diskusi yang dilandasi kejujuran dan keterbukaan. Lalu proses terapi baik dengan dokter jiwa ataupun psikolog, barulah tindakan atau resep obat kembali dihadirkan dengan berbagai cara minum yang penuh keteraturan.

Teras Kiara / dokpri.

Nah, kali ini kebimbangan hadir tanpa sebab yang jelas. Wah lebih berbahaya nich. Harus segera ditenangkan dengan terapi khusus penuh kenikmatan.

Maka tanpa membuang waktu dan menyia-nyiakan kesempatan, pada kesempatan pertama segera bergerak memutar arah dan menantang kondisi jalan berbeda dari seharusnya. Termasuk berjuang dalam ajrug-ajrugan karena jalan agak hancur dilewati truk – truk besar yang hilir mudik ditengah debu tanah yang beterbangan.

Ada usaha dengan semprotan air membasahi jalan, tetapi terlihat tak kuasa melawan debu-debu tanah yang menari riang bersama deru kendaraan besar.

Alhamdulillah setelah melewati jalan berdebu, maka tak jauh lagi lokasi terapi bathin akan dicapai… ahaaay… sabaar.

Namanya Teras Kiara, sebuah cafe asri yang bersih dan aman dari hinggar bingar keduniawian. Kebetulan pengunjung sedang tidak ada, maka leluasa memilih tempat dan mengambil spot photo serta meminta obat galau yang sangat manjur.

Apakah obatnya?”

Obatnya adalah sajian V60 arabica manglayang yang dibuat oleh Aris/Teguh sang barista. Tangan terampil an kedisiplinan pada tahapan manual brewnya menghadirkan sajian sederhana dengan rasa yang tidak sederhana. 15 gram bean arabica manglayang diproses hingga hadirkan sajian kohitala dengan body medium, acidity medium dan aftertastenya selain dark coklat juga selarik kesegaran mentimun dan mint menenangkan rasa yang galau plus kembali semangat menjalani kehidupan.

Semerbak harum aroma kopi manglayang menenangkan perasaan yang sedang gundah gulana karena suatu sebab yang tak jelas ditambah rasa yang mendamaikan. Itulah obat galau dalam sebuah kehidupan.

Jus mangga teras kiara / dokpri.

Tak lupa untuk melengkapi kehadiran kohitala si obat galau ada juga dokumentasi sajian jus mangga yang dipesan seorang rekan yang memang butuh juga kesegaran versi yang bersangkutan.

Happy weekend kawan. Wassalam (AKW).

Kopi BGG

Secangkir kopi hitam dan kenangan masa silam.

Photo : Kopi BGG berlatar Gn Geulis / dokpri.

JATINANGOR, akwnulis.com. Semilir angin harapan yang berhembus dari gunung manglayang menerbangkan angan ke masa silam.

Dikala rabu siang dan sabtu atau juga hari minggu harus pakepuk berkoordinasi demi terwujud 1 flight yang terdiri dari 3 orang mitra plus 1 bapak bos…. dan segera turun ke lapangan untuk bermain golf.

Di hari sabtu atau minggu, jam 06.00 wib sudah nyampe disini karena harus segera mengantar bos bergabung dengan pemain lain, jangan tanya jam berapa dari rumah dinas yang berada di kawasan bandung utara… so pasti nyubuh.

Pada saat bapak bos sudah turun ke lapangan golf, maka saatnya ‘me time’, meskipun tidak bisa pergi dari area Bandung Giri Gahana Golf & resort tetapi disini banyak pilihan kegiatan untuk membunuh bosan mengisi waktu dengan berbagai kelakuan.

Photo : Secangkir kopi BGG & Ikan Koi / dokpri.

Terkadang berenang, fitnes, ikutan sauna ataupun latihan mukul bola golf (practise) di dekat kantin bawah. Yang paling sering berselancar di menu restoran, mengunjungi eh menyicipi beraneka menu makanan yang tersedia… free.. karena nanti dibayarin bapak bos, “Baik bingit khaan?”

Nah jam makan siang standby jikalau bapak bos main 9 hole. Tetapi klo 18 hole maka dilanjut sampai sore…. nunggu lagi sambil jalan-jalan atau main tenis di belakang daan…. makan lagiiii. Efeknya samping depan belakang lho… maksudnya lemak di badan… sehingga dalam 3 tahun bertugas… naik berat badan suangat signifikan.. dari lulus kuliah 59 kg jadi 101 kg…… wuiiih penggemukan berhasil.

Maksudnya nggak hanya makan disini, tapi juga di tempat dan kegiatan lain…. dulu… 18 tahun lalu… oh my god… wiss tuwirr…. tobaaat.

Photo : Photo bersama-sama / Pic by IS.

Inilah tempatnya, Bandung Giri Gahana Golf & Resort dimana sekarang bisa hadir lagi disini menjejakkan kaki dan menyandarkan perasaan dalam acara silaturahmi dinas yang penuh kekeluargaan.

Kopi hitam jatah rapat hotel di cangkir putih menjadi teman pagi ini, tanpa gula diantara kita. Kopi tersaji berlatar belakang gunung geulis membuat suasana kembali memgingat ke masa-masa melankolis. Sebuah momen awal bekerja yang optimis dan belajar memahami apa yang disebut ‘realistis‘.

Sruputtt dulu bray….

Selamat memungut kenangan sambil menyeruput kopi pembagian. Wassalam (AKW).

Kopi Cirkunsum

Beredar di 3 wilayah dan dapat 3 kopi.

Photo : kopi tahu / dokpri

CIMAHI, akwnulis.com. Nulis tentang kopi memang membuat inspirasi tidak pernah berhenti. Meskipun bukan kopi dalam arti sebuah sajian kopi, tetapi tetap unsur kopinya menjadi bagian utama dalam drama kehidupan ini.

Minggu lalu, perjalanan raga ini beredar di wilayah Ciayumajakuning.. eh minus indramayu tapi ditambah sumedang. Berarti ke wilayah Cirkunsum… ah kamu mah bikin singkatan seenaknya banget.

“Lha… knapa ada yang sewot?”

Sebuah singkatan bertujuan mempermudah mengucapkan serta membuat menempel di memori lebih lekat. Meskipun terkesan lebay. Contohnya : GoimJekisam (Goreng Ikan Mas Jeruk Sunkist sambel)… itu khan seena’e dhewe… tapi khan jadi unik. Bener nggak?

Lupakan dulu singkatan-singkatan, sekarang kita bahas perjalanan ke wilayah Cirkunsum.

Pertama, Kopi Tahu (Tofu coffee)
Nah apa itu?… nggak usah pake mikir, ini hanya sajian kopi hitam tanpa gula ditemani tahu sumedang sepiring lengkap dengan cabe rawit (cengek) yang digoreng sebentar. Rasanya nikmat, sruput kopi, am tahu sumedang yang masih hangat dan empuk… nikmaat.

Mana lontongnya?….” Demi alasan pencitraan, maka lontongnya tidak tersaji pada gambar hehehehehe. Sajian ini hadir di daerah Ujungjaya Kabupaten Sumedang.

Photo : Kopi buah / dokpri.

Kedua, Kopi Buah (fruit coffee)
Kalau ini tersaji di daerah Beber Kabupaten Cirebon. Kopinya tetap kopi hitam tanpa gula, yaa kopi kapal api juga nggak apa-apa. Lagian sebagai tamu nggak sopan dong kalau minta pribumi nyiapin kopinya manual brew dengan metode V60 dan beannya arabica wine.

Nggak lucu atuh.

Maka cara terbaik adalah nikmati dan syukuri, terus buat kombinasi, photo dan jangan lupa bikin singkatan. Ini namanya Kopi Burusak (ramBUtan jeRuk SAlaK)…. kerasa khan maksanya?…. tapi jikalau ada komplen, saya terima. Tinggal edit dikit dan berubah, khan ini blog pribadi… lagian daripada share berita hoax mendingan bikun tulisan di blog pribadi dan… share. Bener nggak?

Photo : Kopi Luwak lieuk / dokpri.

Ketiga adalah Kopi Luwak lieuk (coffee alone).
Apa itu?…
Kopi ini tersaji di Wilayah Kuningan. Kopi luwak sachet… di klaimnya kopi luwak asli. Ya gpp… sruput aja. Urusan kualitas rasa.. ya pasti beda dengan hasil metode manual brew yang bersih tanpa ampas. Nah untuk namanya ‘Luwak lieuk‘ itu merujuk ke bahasa sunda ‘Luak lieuk’ atau culang cileung… eh masih sundanesse… artinya nengok kanan kiri dan ke segala arah karena merasa sendirian.

Naah… kopi luwak ini merasa sendirian karena tidak ditemani sajian lainnya hehehehehe.

Begitulah muhibah kopi ke 3 kabupaten di Jawa barat ini.

“Jadi kamu jalan-jalan itu cuman buat nulis kopi?”

Jawabannya jelas : BUKAN. Saya beredar dan berjalan-jalan ini karena tugas pekerjaan yang harus dikerjakan seiring peralihan tugas yang baru. Nah tulisan kopi ini sebagai bumbu penyemangat bahwa ada sisi lain perjalanan dinas yang bisa di eksplorasi.

Jalani, rasakan, tulis, dan nikmati…. secara keseluruhan.. jangan lupa Menikmati.

Dont forget, my blog principle is Simple Story With Simple Language (SSWSL). Wassalam (AKW).

MAKMUM SHALAT *)

Pengalaman pertama berjamaah sholat magrib di rumah dinas camat.

Photo : Sajadah tergelar / dokpri.

*)Sebuah cerita belasan tahun lalu, di ‘rumah dinas camat’.

Shalat magrib perdana di kost-an baru yang gratis terasa begitu syahdu. Rasa syukur begitu mendalam karena dapat tempat kost-an yang luas, deket banget kantor dan yang paling mantap adalah free of charge alias gratis.

“Kok bisa?”

“Alhamdulillah, rumah dinas camatnya nggak dipake. Jadi digunakan buat yang belum punya rumah atau tinggalnya jauh”

“Ohhh… iya bagus kalo gitu mah”

Tadinya mau ke mesjid yang terletak di seberang kantor, agak menanjak dikit. Tetapi hujan besar begitu mendera, ya sudah sholatnya disini saja.

Tuntas mandi terus berwudhu, terasa badan segar hati tenang. Setelah berpakaian lengkap dengan sarung dan kopiah, sajadahpun tergelar diatas karpet merah di sudut ruang tamu yang difungsikan menjadi mushola sementara.

“Allahu Akbar…”

Takbirotul ihram terdengar menggema, awalan sholat magrib yang penuh sukacita. Sendirian memang, karena ini hari libur, minggu malam. Petugas piket 2 orang berada di kantor kecamatan, sisanya tentu bersama keluarga masing-masing atau dengan aktifitas lainnya. Nah besok senin pagi, barulah ramai kembali. Bekerja bersama melayani kepentingan masyarakat, bangsa dan negara ahaaay… merdekaaa.

Bacaan Alfatihah terasa syahdu, baca sendiri dan dengarkan sendiri. Jadi nilai bagusnya subjektif, ya nggak apa-apa khan?

“….. waladdollliinn”

“Amiin” suara makmum di belakang, membuat sedikit terhenyak. Sambil melanjutkan bacaan doa Surat Alkafirun, hati sedikit bertanya, “Siapa yang makmum?”

“Mungkin anggota satpop pp yang sedang piket, nyempetin ikut berjamaah” asumsi itu muncul karena pintu depan rumah dinas camat ini dibiarkan terbuka. Jadi yang mau masuk, ya tinggal masuk.

Di rakaat kedua, pembacaan surat Alfatihah ‘di aminkan‘ kembali oleh sang makmum, alhamdulillah berarti shalat magribnya bisa Jamaahan.

***

Rakaat ketiga terasa tenang, karena tidak ada prosesi ‘Aamiin’, yang pasti terasa tidak sendirian karena ada yang menjadi makmum.

“Assalamualaikum….. “ Attahiyat akhir telah selesai dan ucapan salam menjadi penutup shalat magrub kali ini. Wajah menengok ke kanan dan ke kiri.

Pas inget, tadi ada yang ikutan sholat, penasaran ah. Sebelum dilanjut dzikir reflek menengok ke belakang.

“Eh kirain siapa, ………”

Itu kata-kata yang akan keluar dari mulut ini, karena terbayang staf satpol pp yang piket berseragam lengkap sedang duduk bersila di belakang.

***

Tapi……

Ternyata tidak ada siapa-siapa, sesaat kucek-kucek mata sambil berdoa, “Astagfirullohal adzim…….. Jangan-jangan…. hiiiy”

Bulu badan (bukan bulu kuduk aja lho guys, tapi sebadan-badan) terasa meremang. Suasana sepi sesaat menyergap, segera membaca doa-doa yang dikuasai, serta tak lupa memohon perlindungan Allah SWT.

***

Menuntaskan rasa penasaran, segera bergegas keluar dari rumah dinas menuju kantor kecamatan yang berada tepat disamping bangunan. Terlihat Kang Yayan dan Pak Itang sedang duduk depan televisi sambil sesekali bercanda tawa.

“Tadi ada yang ngemakmum pas solat magrib di rumah dinas?”

Keduanya serempak, “Enggak pak, eh maaf belum sholat magrib” cengengesan, seolah kepergok belum sholat. Aku termangu, diam membisu.

“Ya silahkan solat dulu, biar saya piket sementara”

“Siappp Boss!”

***

Akhirnya malam itu, jadi ikutan piket dan bobo bersama para petugas piket kantor kecamatan. Ngariung tidur di tengah kantor. Wassalam (AKW).

RUMAH DINAS CAMAT

Cerita masa lalu di saat mengawali karier di kota leutik camperenik.

Photo : Kota Sumedang dilihat di puncak Toga / Dokpri.

Penugasan menjadi seorang Amtenaar*) muda di sebuah kecamatan dengan memegang jabatan perdana terasa begitu membanggakan.
Sebuah amanah jabatan dalam struktur yang pertama, dimana sebelumnya berkutat dengan jabatan fungsional pelayanan pimpinan.

Sebuah kebanggaan tiada tara, karena meskipun jabatan adalah sebuah tanggung jawab besar. Tetapi secara manusiawi tetap tergoda untuk merasa senang atau mungkin mendekati area kesombongan. Maafkan aku, karena jiwa muda yang masih bergejolak dan jam terbang kehidupan masih terbatas.

Hari kedua setelah dilantik oleh Bupati secara massal di sebuah Gedung olahraga, bergegas menuju kantor kecamatan yang dituju. Sebuah kecamatan yang berada di wilayah Kota Sumedang yaitu Kecamatan Sumedang Selatan.

***

“Selamat pagi pak, kalau Bapak Camatnya ada? Saya mau menghadap”

“Silahkan isi buku tamu dulu pak, ada keperluan apa?”

Sepenggal dialog dengan petugas depan berseragam Satpol PP menjadi pembuka cerita pagi itu, di kantor yang baru. Sembari memperhatikan suasana kerja di kecamatan, rasa senang kembali menyeruak di dada, “Ini pasti uforia jabatan.”

Ruang tunggunya adalah bangku panjang yang juga digunakan untuk masyarakat yang mengajukan berbagai keperluan administratif. Di depanku, para petugas terlihat serius mengerjakan tugasnya masing-masing, baik menulis di buku-buku besar ataupun tenggelam di depan monitor komputer yang dilengkapi printer dengan suara khasnya. Begitupun suara mesin tik yang menandakan suatu proses pelayanan sedang berjalan.

“Silahkan masuk pak, Bapak Camat sudah menunggu”

Sebuah sapaan sopan yang membuyarkan lamunan, segera beranjak mengikuti langkah anggota Satpol PP menuju ruang kerja Camat.

***

Selamat datang, selamat bergabung……. dst”

Penyambutan ramah dari Pak Camat membuat penyesuaian di tempat baru ini bisa lebih akseleratif. Diskusi ringan diselingi petunjuk kerja dan kebiasaan disini, menjadi pedoman langkah untuk memulai bekerja lebih giat.

Fasilitas kerja berupa ruang kerja dan motor dinas edisi sepuh juga ada, termasuk jika mau menggunakan rumah dinas camat sebagai tempat kost dipersilahkan, ini yang menarik, yang menjadi pangkal cerita dalam tulisan ini, cekidot.

–**–

RUMAH DINAS

Rumah dinas camat ini berada tepat disamping kiri kantor kecamatan, pasti begitu, dengan tujuan agar seorang camat bisa dengan cepat mememuhi tugas dalam memberikan pelayanan terbaik kepada warga atau rakyat yang ada di wilayahnya.

Nah khusus di Kecamatan Sumedang Selatan ini, Camatnya tidak menempati rumah dinas karena rumahnya memang deket ke kantor, bukan hanya camat yang sekarang tetapi juga camat-camat terdahulu.

Jadi rumah dinas ini lebih dimanfaatkan untuk ruang penunjang kegiatan kecamatan, seperti untuk rapat-rapat ataupun ‘botram’,

“Are you know botram?”

Itu tuh makan-makan barengan dengan menu tertentu atau terkadang alakadarnya. Masak bareng-bareng di sela kerja, trus dimakan bersama seperti nasi liwet, jengkol, pete, kerupuk dan jangan lupa sambel dadak terasi plus lalapan, juga tahu tempe plus asin, nggak lupa ayam goreng, gurame bakar pais lele, gepuk juga sayur lodeh…. halaah party atuh ini mah.

Kembali urusan rumah dinas, tentu gayung bersambut. Diriku butuh penghematan dengan gaji terbatas, sehingga dengan menggunakan rumah dinas ini maka biaya kost bisa dihapus. Di tahun 2005, uang 300 ribu itu sangat berharga. Biaya kost 1 bulan bisa ditabung demi masa depan, hahaay. Klo nggak salah gaji tuh 1,1jt atau 1,3juta. Pokoknya penawaran kost gratis di rumah dinas ini adalah kesempatan emas, titik.

Nggak pake lama, segera beres-beres di kost yang lama dan kebetulan tinggal 3 hari lagi. Nggak terlalu banyak barang karena memang hanya seorang anak kost perantauan, cukup satu tas gendong besar dan 1 tas jinjing. Sama 2 dus buku-buku dan pernak-pernik. 2 kali balik pake motor juga selesai.

Dengan dibantu kawan-kawan baru di kecamatan, hari sabtu menjadi momen beberes rumah dinas agar layak digunakan. Kamar depan di setting sebagai kamar kostku, sementara 2 kamar lainnya difungsikan sebagai gudang tempat penyimpanan barang-barang inventaris kantor, meskipun untuk kamar darurat masih bisa difungsikan.

Lantai ruang tengah dibersihkan, di sikat dan dipel bersama-sama, lalu dipasang plastik dan terakhir karpet kantor. Sebagian dipasang satu set meja kursi dan diujung depan kamar dibuat menjadi mushola darurat, cukup buat 15 orang berjamaah.

Kamar mandi dalam diperbaiki, minimal ada air yang bisa digunakan mandi cuci kakus. Sementara kamar mandi belakang, dapur dan ruang gudang belakang praktis tidak digunakan karena kondisinya memprihatinkan.

Tapi itu nggak masalah, lha wong bujangan. Makan tinggal beli ke warung depan atau nebeng sama pegawai kecamatan klo makan siang. “Asyik khan?”

Esok harinya, aku mulai tinggal di rumah dinas camat itu. “Bismillahirrohmaniirohim…”

***

*)Amtenaar : pegawai negeri.

Cerita selanjutnya tentang rumah dinas ini segera dirilis. Wassalam (AKW).