
CIGANJENG, akwnulis.com. Semilir angin siang yang hangat dan memberi raga cepat hadirkan keringat tidak mengurangi semangat untuk menuangkan kata menjadi kalimat yang bisa menjadi penguat. Apalagi ternyata ide menulis dihadirkan dari buah pembicaraan dengan seorang kawan, cerita sehari-hari yang bisa dibuat sebuah cerita singkat yang memiliki arti.
Kali ini ide cerita hadir dari perbincangan dengan rekan kerja sekaligus pegawai senior di kantor yang memiliki banyak pengalaman dalam kehidupan. Salah satunya adalah diskusi tentang sebuah kejadian yang dialami bersama pimpinannya di masa lalu.
Ide ceritanya ditangkap dan coba ditulis ulang atau reka cerita tentu dengan kemasan yang berbeda dan genre bahasa sunda sebagai bagian dari cara penulis melestarikan bahasa ibunda. Maka jadilah fulisan ini. Secara ritual pribadi, tulisan ini masuk dalam frame fiksimini basa sunda atau fbs. Jadi setelah tuntas menulis dibawah 150 kata, langsung di publish di grup tertutup FB. Maka dinamika komentar dan like menjadi penanda respon semuanya. Tapi di grup ini pure bahasa sunda. Lalu untuk di publish di blog pribadi ini, perlu ditambah kata – kata dan cerita latar belakangnya.
Inilah ceritanya :

# MIHEULAAN #
Kijang pasagi bulao kolot nyemprung meulah patalimarga di wewengkon parungpanjang. Uing nyekel setir, di gigireun dunungan diuk ngilu nempokeun mobil jeung motor nu piligenti diliwatan, panonna meuni awas.
Uing mimitina teu jero teuing nincak gas tèh, sabab bisi dunungan bendu. Maklum kakara nyupiran dunungan ka luar dayeuh, biasana ukur sakuliwek lembur. Ngaroris sawah atawa nganteur ka hèleran.
Tapi geus sababaraha kali, dunungan ngagorowok, “Piheulaan Jang, bes!” Mimitina mah palaur, tapi asa dibere sumanget, gas didedetkeun. Miheulaan ti kènca atawa katuhu, dunungan seuseurian.
Teu kaop jalan rada lempeng, dihareup aya treuk kontèner gè, pasti ngagorowok, “Bes!!… bes!!”
Langsung pindah gigi, gas ditincak, setir rada ka katuhu. Cuusss, kijang nyemprung di katuhu. Lèok deui ka kènca, asup jalur. Gas deui.
“Bes!!”
Langsung miheulaan ti katuhu, cus.
“Bes!!”
Miheulaan deui, dunungan seuserian bungah.
“Bes!!” Rikat miheulaan.
“Beus.. beus.. beus!! Dunungan ngagorowok, uing ngagas.
Jebrèd!!.. poèk.
***
Cerita pendek atau super pendek ini berjumlah 147 kata, jika tidak percaya silahkan hitung saja. Ada beberapa respon terkait tulisan ini adalah anggapan bahwa merupakan tulisan yang belum tuntas alias bersambung. Padahal itulah titik keindahan dan gaya menulis fiksimini yang disetting sedemikian rupa sehingga di akhir cerita bisa memberikan persepsi makna berbeda.
Inti dari cerita ini adalah model komunikasi sederhana yang secara tulisan hampir sama alias mirip padahal maknanya berbeda. Yaitu kata ‘bes‘ dan ‘beus‘ mari kita cermati.
Kata pertama, bes. Itu mengandung arti perintah atau saran untuk bergerak lebih cepat untuk menyalip kendaraan yang ada di depan, tentu dengan perhitungan yang tepat. Biasanya kombinasi antara keahlian dan nekat hehehehe.
Kata kedua, beus. Itu artinya bis, kendaraan besar yang bisa mengangkut banyak penumpang dengan ukuran bis besar atau bis 3/4. Karena kemiripan sebutan itulah sehingga cerita fiksimini sunda tadi hadir.
Akhir cerita ada kata kunci, yaitu ‘jebrèd‘ dan ‘poèk‘ yang artinya berarti terjadi peristiwa benturan dan pandangan gelap dari pengemudi yang sekaligus pencerita. Apakah benturan dengan bis atau benturan dengan tebing untuk menghindari tabrakan dan bisa juga kendaraan berbenturan dengan pohon, itu adalah persepsi dalam sebuah cerita.
Hikmahnya adalah berhati-hatilah diperjalanan. Awali bepergian dengan membaca doa agar selamat di perjalanan hingga tujuan dan kembali ke rumah semula. Saat mengemudi kendalikan emosi dan tetap patuhi rambu – rambu lalu lintas. Selamat beredar kawan, Happy weekend, Wassalam (AKW).