“Hayu euy latihan” Gorowok Si Acun bari mawa pakarang panjang ipis hèrang. Ajat, Apud jeung Uing geuwat nepungan. Ajat jeung Uing mawa bedog hèrang, ari si Apud mah leuwih gagah, tumbak panjang.
Geus ngumpul di tengah lapang, kabèh sayaga masang formasi. Usèp jeung Unang bagian nabeuh.
“Jrèng dung jrèng dung jrèng!!!”
“Ciaaat…..” kabèh ngembatkeun jurus, peureup jeung tatajong nu anca. Jungkir bari mawa pakarang. Tartib sakumaha pituduh ti Engko Jujun, guru sarèrèa.
Teu karasa latihan Wushu tèh lekasan, hasilna nyugemakeun. Dua poè deui rèk minton di buruan kantor dèsa. Gabung jeung grup liong ti lembur tatangga.
Pawey oncor
“Balik tiheula nya, kè ngumpul deui di buruan masjid. Ulah poho mawa oncor tèa!!” gorowok Usep.
“Siap kumendaaan” dijawab saur manuk.
Peutingna ngaji heula ti magrib nepika isya. Geus kitu ngumpul di buruan masjid, karèk ngabring nguruling lembur, pawey oncor Rajaban. Si Acun megat ti imahna. Suka bungah taun ieu, imlek jeung rajaban ngantèt. (AKW).
INDRAMAYU, akwnulis.id. Menjelang sore hari masih terdapat beberapa kawan yang terlihat sibuk dengan pekerjaan. Padahal jam pulang kantor sudah sedikit terlewati. Terlihat Amida masih bolak – balik membawa berkas ditemani Bayu yang juga terlihat serius.
“Hai, sibuk sekali kalian. Hayu pulang!” Aku berteriak sambil menyeringai. Karena memang ini bukan ajakan pulang yang sebenarnya. Sama tugas bejibun dari bos, padahal ini baru awal tahun.
Masih terngiang doktrin dari ibu bos di meeting awal tahun, “Mengingatkan kembali bahwa prinsip kita adalah wajib datang tepat waktu dan pulang tidak tepat waktu!!”
Ternyata terbukti jam 16.00 wib selalu terlewati karena ternyata tugas hadir begitu banyak. Padahal sudah dibagi dengan jumlah personil yang ada. Ya sudah yang penting tidak setiap hari saja. Sesekali boleh, khan perlu juga me time, atau yang sudah berkeluarga tentu berkumpul bersama keluarga masing – masing setelah lelah bekerja seharian.
Kembali di kesibukan sore ini ternyata berlanjut hingga tiba adzan magrib. Maka sesuai protap yang berlaku, serempak berhenti beraktifitas di kala adzan berkumandang. Tunaikan shalat dan setelah itu baru lanjutkan aktifitas.
Kami berjamaah terbatas di mushola darurat kecil di samping ruangan kerja. Tempatnya strategis karena terletak diantara ruang kerja kami dan toilet sekaligus tempat mengambil air wudhu. Jadi tidak terlalu worry dengan suasana kantor yang mulai sepi. Sementara ibu bos terlihat masih anteng saja di ruang kerjanya. Terlihat bayangannya di dinding kaca, masih bolak balik dengan berkas di tangannya.
“Prang…..!!” Tiba – tiba terdengar seperti kaca pecah dari ruang kerja ibu bos, sebut saja bu Siti. Kami berhamburan menuju ruang kerjanya dan membuka pintunya tanpa permisi lagi. Terlihat ibu Siti berdiri dan terdiam sambil memandang frame photo dan pecahan bingkai kacanya di lantai, sebuah kolase photo bu Siti yang diterima dari teman – temannya di tugas sebelumnya. Terlihat photo paras cantik bu Siti sekarang tergeletak di lantai.
“Ibu tidak apa-apa?” Kami serempak bertanya penuh kekhawatiran.
“Nggak apa – apa sih, cuma heran” Ibu Bos menghela nafas lalu melanjutkan kata – katanya. “Kolase photo saya ini baru saya pasang tadi sore, dan sudah jatuh ketiga kali. Tapi yang terakhir begitu keras sehingga pecah berantakan”
Kami bertiga saling memandang, kok terasa ada sesuatu ya?..
Ik ben mooi
“Ya udah bu, kami bantu bersihkan ya” “Oke, makasih ya. Klo udah selesai kita pulang saja. Kok perasaan ini nggak enak” begitu komentar ibu Bos. Kami bertiga membantu membersihkan serpihan kaca dan menyapunya hingga bersih.
Setelah semua bersih, kami bertiga kembali ke ruangan untuk membereskan berkas dan tugas yang tersisa. Kebetulan tinggal sedikit lagi. Sementara Ibu bospun terlihat sedang membereskan laptop dan dokumen yang terserak di mejanya.
Amida terlihat bergerak ke luar ruangan menuju ruang ibu bos, sementara aku menemani Bayu membereskan berkas yang terserak. Tapi baru beberapa detik berlalu, terdengar derap langkah kaki berlari dan terlihat Amida berlari begitu kencang dengan wajah pucat pasi. “Kenapa Amida?” Bukan jawaban yang didapatkan, tapi tarikan tangan untuk segera meninggalkan ruangan. Kami bergegas untuk meninggalkan ruangan, tapi teringat ibu bos yang masih sendirian di ruangan.
Setelah terdiam beberapa waktu, dengan memberanikan diri kami berdua mendekati ruang ibu bos, sementara dibelakangku Amida mengikuti sambil memegang erat tanganku. Selangkah demi selangkah kami mendekati ruang ibu bos, pintu ruang kerjanya agak terbuka. Bayu mencoba mengetuk tetapi tidak ada jawaban. Kami mencoba mendorong pintu perlahan, dan tercekat dengan pemandangan yang ada.
***
Ibu bos terlihat mematung dengan pandangan kosong dan wajah pucat pasi. Sementara kedua tangannya memeluk erat kolase photo diri yang tadi berulangkali jatuh tanpa sebab hingga akhirnya jatuh yang terakhir tadi sore dan berakibat frame kacanya hancur berantakan. Kami tidak berani ambil resiko, bertiga segera berhambur keluar, menyusuri koridor dan menuju mesjid di belakang kantor. Menemui ustad Badru yang sedang memimpin pengajian sorogan di mesjid belakang.
“Pak Ustad, maafkan. Ini emergency. Mohon bantu kami lihat kondisi ibu bos”
Tanpa banyak bertanya, pengajian diserahkan ke santri senior dan bergegas menuju kantor. Benar saja setelah membaca doa dan beberapa surat – surat dalam Alquran. Ibu bos tersadar, namun tak berapa lama terkulai pingsan. Segera dilakukan pertolongan pertama dan dengan bantuan oksigen serta kesigapan tim UGD, perlahan sadar dan tanpa basa – basi minta segera diantar pulang ke rumahnya.
2 hari ibu bos tidak masuk kantor karena sakit. Di hari ketiga baru bisa bergabung kembali bekerja bersama. Tetapi dengan SOP yang baru bahwa untuk selalu ditemani, apalagi sore menjelang magrib. Lalu aturan kedua adalah lampu – lampu koridor dan ruangan depan samping ruang kerja ibu bos tetap dinyalakan sampai ibu bos pulang meninggalkan ruangan.
Ternyata, setelah beliau berkenan menceritakan pengalaman beberapa hari yang lalu maka sangat berhubungan erat dengan teriakan Amida sore itu. Jika Amida hanya melihat sesosok perempuan dengan rambut panjang berbaju sopan memasuki ruangan depan samping ruangan ibu bos, namun saat dilihat ke ruang tersebut karena penasaran ternyata sebuah bayangan putih terbang menembus kaca dan menghilang.
Sementara ibu bos bukan hanya melihat tetapi bercakap dengan sosok tersebut. Diawali dengan selalu jatuh tanpa sebab kolase photonya yang dipasang di dinding hingga akhirnya pecah berantakan di sore hari tersebut. Hingga disaat menjelang isya berjalan melewati ruangan gelap di samping ruangannya.
Ada seorang wanita yang duduk dengan menggunakan model baju perawat berambut panjang dan tersenyum ke arahnya. Tentu membalas senyum adalah hal biasa. Tetapi sedikit terpana karena wajahnya begitu bersih, cantik namun ada nuansa dingin dan sunyi yang mencekam.
“Permisi bu” ibu bos berujar. Tidak ada jawaban, hening sejenak. Tapi terasa oleh ibu bos ada hembusan angin dingin yang memaksa tengkuk merinding padahal tertutupi lapisan jilbab kesayangan. Tanpa banyak pertimbangan segera berlalu. Namun baru empat langkah meninggalkan sosok perempuan tersebut, terdengar bisikan di telinga kanan, suara serak seorang perempuan, “Cantik itu aku!”
Reflek ibu bos balik kanan dan berfikir itu adalah jawaban jeda dari perempuan yang sedang duduk tadi. Namun, tidak ada siapapun di tempat tadi. Hanya keheningan dan rasa sedih yang menyergap dan menyelimuti. Ibu bos segera berlari menuju ruang kerjanya dan menutup pintu. Ternyata di dinding dimana kolase photo itu pernah terpasang. Terlihat sebuah tulisan berwarna merah darah. IK BEN MOOI – cantik itu aku. Wassalam. (AKW).
***
Note : Ini hanya sebuah cerita fiksi yang terinspirasi dari pengalaman seorang kawan di sebuah instansi. Itu saja.
Wanci burit geus kaliwat lila pisan, bèak ku nu ngawangkong ngabahas sagala rupa. Tadina sugan tèh wanci sareureuh budak mah geus lekasan. Tapi geuning ngadeukeutan wanci indung peuting, nu badami beuki rongkah. Patèmbalan embung èlèh. Padahal ukur ku nyebut nuhun bari imut kanjut, moal lila babadamian tèh.
Ku sabab sarua pinter, antukna guntreng tèh kana sagalarupa. Bubat babèt urusan lian, tapi tuluy silih tagenan. Atuh parèa-rèa omong tèh beuki mahabu. Tungtungna ngabeledag, sora bedas meupeuskeun rasa. Nu keur pacèntang – cèntang ngajengkang katukang.
Nu lainnya ogè katindihan, aya nu ngacleng kaluar jandèla sabab awakna leutik tur ipis. Nu awakna kandel mah nagen, ukur ngèsèr saetik. Kabèh ngahuleng, teu nyangka geuning tanaga pasèa tèh badag kacida.
Kabèh ngaheunggeu teu puguh rasa. Tapi aya nu sarua, baham rapet teu bisa disada. Ukur leungeun nu pakupis pepeta. Bari beungeut sepa, teu aya getihan.
Dijuru dua mahluk hideung halughug sareuri bari tutunjuk, “Matak tong patugeng-tugeng. Belegug.” (AKW).