
CIMAHI, Akwnulis.com. Sebuah luncuran kalimat menohok ternyata diteruskan dengan rangkaian kata yang begitu memojokkan. Membuat jiwa ini tersudut dan seakan mengecil dari kenyataan dunia ini. Seluruh pandangan mata seolah tertuju kepada raga rapuh ini yang terus menjadi bulan-bulanan.
“Mengapa begini?”
Kalimat tanya menjadi pembuka, tetapi ketahanan mental dan gejolak emosi harus terkendali karena melihat serbuan kalimat – kalimat penuh tekanan dan tendensius ini mulai menggoyahkan kendali emosi dan menghapus nalar sehat untuk segera berucap demi harga diri.
Gejolak batin harus tertata dengan helaan nafas teratur berbalut kepasrahan. Sebuah kesadaran rasa kembali terbentuk dan menjadi pondasi hakiki dalam menghadapi sebuah kondisi yang kurang mengenakkan ini. Apalagi aura ketegangan mulai terlihat dari wajah – wajah hadirin. Tentu dengan gejolak dan celoteh hati yang berbeda. Ada yang degdegan takut kena giliran disemprot, tapi ada juga yang merasa senang melihat raga ini menjadi sasaran dan tak bisa sama sekali memberikan perlawanan.
Sementara hamburan kalimat terus mendera, jiwa terdiam dan emosi stabil menjadi pegangan. Tentu dengan berdzikir dalam hati yang terdalam, kita harus kuat dan tenang dalam hadapi kenyataan. Apalagi sikap kita dalam menghadapi ini tentu menjadi penentu bagi sikap teman – teman yang semakin kikuk dengan ketegangan.

Maka wajah tetap tegak dan menatap pembicara tanpa menghadirkan ekspresi berlebihan. Kata anak sekarang mah, B aja alias ‘biasa’ aja. Pikiran yang relatif stabil dengan hati yang damai memberi kestabilan emosi yang sejajar maka apapun kalimat yang dagang, biarkanlah sebagai bagian dari perbaikan di masa mendatang.
“Lagian kenapa juga harus tegang?”
“Padahal tegang itu ada saatnya, ada tempatnya khan?”
Alhamdulillah dengan semua ketenangan ini, perjumpaan formal akhirnya usai dan semua bubar dengan membawa segala persepsi dan kekesalan. Penulis sih santey aja, lha wong pembahasan tadi bertujuan untuk perbaikan, meskipun disampaikan dengan penuh penekanan.
Ingatan tiba-tiba terbang ke 20 tahun lalu, disaat menjadi birokrat muda yang baru menapaki karir. Sebuah doktrin dari atasan harita, “Sabar Jang, jadi staf mah ukur 2 urusan, dititah jeung dicarèkan (Sabar, menjadi staf itu hanya 2 pilihan, yaitu disuruh & dimarahin).
Jadi senyum sendiri dan menjadi catatan penting bagi diri ini, bahwa secuil kalimat apresiasi bagi anak buah menjadi berharga dan menumbuhkan motivasi bekerja lebih baik, disamping dengan kemarahan dan perintah.
Maka untuk menetralisir semua gejolak rasa ini, diperlukan penyeimbang yang hakiki. Tentu doa penenang adalah utama, tetapi secangkir kopi akan menjadi penetralisir rasa dan rupa. Maka segera bergerak meninggalkan tempat pertemuan menuju pertemuan lanjutan dengan sang kohitala, Kopi hitam tanpa gula.
“Bergerak kemana?”… tunggu tulisan selanjutnya. Hatur nuhun (AKW).